Tangselmu – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menegaskan pentingnya Tafsir At-Tanwir sebagai rujukan intelektual dan spiritual yang dapat memperkuat pandangan Islam berkemajuan di tengah tantangan zaman.
Hal ini ia sampaikan dalam keynote speech pada Konferensi Mufasir Muhammadiyah ke-3 yang digelar di Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (28/08).
Dalam paparannya, Haedar mengungkapkan bahwa sejak membaca Tafsir At-Tanwir Jilid I, dirinya menemukan penjelasan mendalam tentang epistemologi dan kosmologi Al-Qur’an yang berangkat dari pemahaman QS. Al-Baqarah ayat 29-30 serta relasi ayat-ayat lain. Menurutnya, hal ini menjadi kunci penting dalam merelasikan urgensi tafsir tersebut dalam kehidupan.
Haedar kemudian menyinggung karya sejarawan Steven Runciman dalam The Last Byzantine Renaissance, yang menggambarkan bagaimana perpaduan antara sains, nalar, dan objektivitas mampu membangun peradaban modern.
Namun, Runciman juga mengingatkan bahwa problem terbesar dunia modern justru terletak pada persoalan kosmologi: pandangan semesta yang semata-mata fisik, material, dan positivistik. Pandangan reduktif ini, kata Haedar, telah melahirkan krisis kemanusiaan hingga kerusakan ekosistem global seperti perubahan iklim (climate change).
“Semua itu berangkat dari kerapuhan pandangan kesemestaan masyarakat modern yang bersifat materialistik semata,” ujar Haedar.
Ia menambahkan, problem lain yang muncul adalah kecenderungan ekstrem masyarakat Barat modern yang bergeser dari teosentrisme abad pertengahan menuju humanisme sekuler sejak abad ke-14, lalu kini muncul indikasi kembalinya pada spiritualisme yang serba teosentris.
Menurut Haedar, kecenderungan serupa juga dapat menimpa umat Islam jika tidak diarahkan pada pandangan moderat. “Kita jangan sampai mengulang sejarah Barat abad pertengahan, yang serba teosentris dan terputus dari kemanusiaan, ekosistem, pluralisme, dan sains,” tegasnya.
Dalam kerangka Islam berkemajuan, Muhammadiyah, kata Haedar, memandang bahwa Islam sejak awal hadir untuk mengintegrasikan kehidupan secara utuh: dunia dan akhirat, jiwa dan raga, langit dan bumi. “Relasi itu saling terkoneksi. Manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah, tapi ibadah tidak boleh terputus dari dimensi kemanusiaan,” ujarnya.
Haedar menguraikan bahwa Al-Qur’an menegaskan berbagai misi manusia di muka bumi, antara lain: beribadah kepada Allah (QS. Adz-Dzariyat: 56), menjalankan fungsi kekhalifahan (QS. Al-Baqarah: 30), membawa risalah rahmatan lil-‘alamin (QS. Al-Anbiya: 107), serta memakmurkan bumi (QS. Hud: 61). Semua itu, menurutnya, harus dikelola dalam keseimbangan antara ibadah dan kekhalifahan.
“Kalau hanya ingin beribadah kepada Allah lalu menegasikan dunia, itu keliru. Tapi kalau hanya mengurus dunia saja seperti peradaban Barat, juga tidak tepat. Islam mengintegrasikan keduanya,” jelasnya.
Ia mencontohkan ayat QS. Al-Qashash: 77 yang menekankan bukan hanya keseimbangan dunia-akhirat, melainkan juga ihsan dalam arti membangun peradaban, menjaga bumi dari kerusakan, serta melahirkan amal saleh yang berdampak luas.
Haedar menegaskan bahwa amal usaha Muhammadiyah di bidang pendidikan, kesehatan, hingga pengelolaan sumber daya alam secara bertanggung jawab adalah wujud nyata dari fungsi kekhalifahan yang dilandasi ihsan.
“Itu bagian dari peradaban Islam yang rahmatan lil-‘alamin. Nabi dalam 23 tahun membangun fondasi, lalu peradaban Islam sejak Umayyah, Abbasiyah, Fatimiyah, hingga Utsmaniyah membuktikan bahwa Islam mampu melahirkan peradaban yang kosmopolit dan universal,” tandasnya.
Lebih lanjut, Haedar menekankan agar umat Islam tidak terjebak pada sikap simbolis atau retorika normatif yang miskin substansi.
“Sejarah Islam itu bukan hanya serpihan cara berpakaian atau slogan. Islam dulu dianggap terlalu modern pada zamannya, tetapi justru itulah yang membuatnya mampu membangun peradaban Madinah,” katanya, merujuk pada pandangan Marshall Hodgson dalam The Venture of Islam.
Ia menegaskan posisi tafsir sebagai instrumen sentral untuk membangun kembali pemikiran keislaman yang berorientasi pada peradaban.
“Tafsir menjadi kunci untuk menghadirkan pandangan Islam yang integratif, berkemajuan, sekaligus mampu menjawab tantangan kemanusiaan global,” pungkasnya. (red.)