Tangselmu – Di sela peringatan Milad ke-26 Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus), Selasa, 19 Agustus 2025, sebuah prosesi sederhana menjadi penanda lahirnya inisiatif besar. Ketua PP Muhammadiyah bidang Pembinaan Kesehatan Umum, Kesejahteraan Sosial, dan Resiliensi Bencana, Dr. Agus Taufiqurrahman, M.Kes., Sp.S., menyerahkan bibit pohon kepada Rektor Unimus, Prof. Dr. Masrukhi, M.Pd. Simbolisasi itu menandai diresmikannya Hutan Wakaf Muhammadiyah, sebuah model hutan yang diproyeksikan sebagai ruang pendidikan, penelitian, sekaligus pemberdayaan masyarakat.
Indonesia tengah menghadapi tantangan besar dalam mengelola sumber daya alam. Kerusakan hutan, krisis iklim, hingga terbatasnya implementasi program Perhutanan Sosial kerap menjadi hambatan. Di tengah kerumitan itu, muncul satu jalan alternatif yang lahir dari akar budaya: Hutan Wakaf. Tidak bergantung pada negara atau pasar, hutan wakaf tumbuh dari kekuatan komunitas, memanfaatkan tanah wakaf secara produktif dan berkelanjutan.
Bagi Muhammadiyah, konsep ini bukan hal asing. Organisasi ini memiliki lebih dari 21 juta meter persegi tanah wakaf di seluruh Indonesia yang selama ini digunakan untuk sekolah, rumah sakit, dan pesantren. Kini, sebagian aset itu mulai diarahkan untuk menjawab krisis ekologis. Salah satunya di Unimus, di mana lahan seluas ±3.000 m² milik Muhammadiyah yang sebelumnya terbengkalai, kini disulap menjadi hutan pendidikan berbasis wakaf.
“Hutan wakaf ini akan menjadi laboratorium alam bagi mahasiswa dan dosen lintas disiplin. Kami berkomitmen menyediakan lahan dan menjadikannya sebagai sarana pembelajaran yang mengintegrasikan nilai Islam dengan ilmu pengetahuan,” ujar rektor Unimus, Prof. Masrukhi.
Simbolisasi kolaborasi ditandai dengan penyerahan bibit dari PP Muhammadiyah kepada Prof. Dr. Masrukhi, M.Pd. (Rektor Unimus), Muh Fitrah Yunus, S.IP., M.H. (Penanggung Jawab Hutan Wakaf Muhammadiyah), Dr. Indah Nur Shanty Saleh, S.H., M.Hum. (LHKP PP Muhammadiyah), dan Thomas Oni Veriasa, S.E., M.Si. (Direktur Lembaga Alam Tropika Indonesia/LATIN).
“Hutan Wakaf Muhammadiyah hadir untuk mewujudkan tidak hanya keadilan ekonomi, tapi juga keadilan akses terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, sehingga manfaatnya bisa langsung dirasakan oleh masyarakat luas. ” kata Fitrah Yunus.
Fitrah juga menekankan bahwa Hutan Wakaf adalah alternatif solusi atas kerumitan legal formal negara dalam agenda pemanfaatan perhutanan sosial yang justru merugikan masyarakat.
Sementara itu, Thomas Oni Veriasa menekankan dimensi ekonomi restoratif dari skema ini. “Hutan Wakaf adalah inovasi yang menghubungkan spiritualitas dengan kelestarian ekologi. Skema ini membuka peluang ekonomi yang adil dan produktif, sekaligus memperkuat gerakan konservasi berbasis wakaf,” ujarnya.
Hutan wakaf di Unimus bukan hanya ruang penghijauan, melainkan juga laboratorium sosio-ekologis. Konsep ini dirancang adaptif, tidak terjebak pada kerumitan legal formal negara, sehingga mampu mereplikasi praktik baik komunitas secara lebih inklusif. Dalam jangka panjang, hutan wakaf diharapkan menjadi role model pengelolaan hutan hak yang diakui dalam kebijakan nasional. Lebih jauh, Unimus merencanakan pengembangannya menjadi arboretum dan kawasan eduwisata yang dapat diakses mahasiswa, masyarakat, hingga publik luas, sehingga fungsi pendidikan, konservasi, dan pemberdayaan ekonomi dapat berjalan beriringan. (red.)