Tangselmu – Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah (UM) Bandung bekerja sama dengan Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung dan Universitas Muhammadiyah Parepare menggelar Seminar Nasional Pendidikan Islam. Seminar ini mengusung tema “Meneguhkan Moderasi Beragama: Tantangan dan Peluang di Era Digital” Kamis (04/09/2025).
Acara ini menghadirkan akademisi, dosen, dan mahasiswa pascasarjana untuk membahas peran moderasi beragama dalam membangun peradaban. Diskusi juga diarahkan pada upaya menjawab tantangan yang dihadapi umat di era digital yang serba cepat dan terbuka.
Wakil Direktur III Pascasarjana UIN SGD Dindin Solahudin menyampaikan bahwa seminar ini menjadi ruang kajian konseptual yang penting bagi mahasiswa S2. Ia menegaskan bahwa moderasi beragama bukan sekadar wacana akademik, melainkan bagian dari sunnah Rasulullah SAW.
“Moderasi beragama itu sunnah Rasul. Tiga sahabat nabi pernah melakukan riset melalui wawancara dengan keluarga nabi dan hasilnya menunjukkan ibadah nabi bersifat minimalis dan tidak berlebihan,” jelas Dindin.
Menurutnya, temuan itu menunjukkan bahwa praktik beragama Nabi Muhammad SAW sangat moderat. Dindin berharap mahasiswa pascasarjana dapat memandang moderasi secara proporsional dan menjadikannya rujukan dalam mengajar, khususnya bagi guru PAI.
Dalam sambutan ini juga Dindin mengingatkan agar moderasi tidak disalahartikan hingga mendangkalkan keimanan. Menurutnya, moderasi beragama harus dipahami sebagai jalan tengah yang meneladani Rasulullah SAW.
Wakil Dekan Fakultas Agama Islam UM Bandung Cecep Taufiqurrahman menambahkan bahwa moderasi adalah identitas Islam itu sendiri. Ia mendorong dosen dan mahasiswa Muhammadiyah untuk terus menggali moderasi dalam pemikiran dan praktik Muhammadiyah.
“Muhammadiyah sudah berusia lebih dari satu abad. Begitu pula NU. Dua organisasi ini tidak mungkin bertahan lama jika tidak mencerminkan pemahaman moderat,” ujarnya. Cecep menegaskan bahwa seluruh amal usaha Muhammadiyah dibangun di atas nilai-nilai moderasi baik secara ideologis, teoretis, ataupun syariat.
Sementara itu, Erik, Plt Kadis Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Enrekang, memaparkan bahwa moderasi beragama adalah sikap keagamaan yang berimbang, anti-ekstrem, dan menghormati kemajemukan. Ia menyebut tantangan terbesar adalah tingginya konsumsi konten keagamaan singkat oleh Gen Z yang mencapai 75 persen dan risiko penyebaran paham ekstrem.
Menurut Erik, peluang untuk memperkuat moderasi masih sangat terbuka melalui aplikasi pendidikan Islam, kolaborasi ulama dan kreator digital, serta Kurikulum Merdeka yang menanamkan nilai toleransi dan kebinekaan.
Ia mendorong pemerintah daerah untuk mengembangkan kurikulum lokal berbasis moderasi, melatih guru agar melek digital, dan memperkuat literasi media. Upaya ini diharapkan dapat mencetak generasi yang cerdas digital, moderat, toleran, dan mampu menjaga harmoni kehidupan beragama di era digital. (red.)