Penulis: Farah Maulidah Amalia, Mahasiswa Magister Pedagogi Universitas Muhammadiyah Malang
Sepanjang sejarah manusia, pendidikan selalu menjadi cermin peradaban. Menampakkan sejauh mana manusia memahami dirinya dan dunia di sekitarnya. Dari masa ke masa, pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai sarana mentransfer pengetahuan, tetapi sebagai ruang untuk menanamkan nilai, membentuk karakter dan menumbuhkan kesadaran kolektif tentang makna hidup.
Pendidikan seringkali dianggap menjadi barometer kemajuan peradaban, seperti ketika pendidikan tumbuh, peradaban ikut bergerak maju. Ketika pendidikan kehilangan arah, peradaban kehilangan pijakan moral dan pengetahuannya. Oleh karena itu, perlu memaknai transformasi tujuan pendidikan dari sekadar “mengisi kepala” menjadi “membentuk kapasitas” yang hal ini membawa arah kebijakan dan praktik pendidikan yang prioritas.
Perubahan orientasi transformasi dari tujuan pendidikan tersebut perlu memperluas indikator keberhasilan yang bukan hanya pencapaian kognitif, tetapi juga perkembangan afektif (motivasi intrinsik, resiliensi), sosial (kemampuan kolaborasi, empati), dan etika (tanggung jawab sosial, sikap kritis dengan kondisi yang ada).
Adaptabilitas Pendidikan
Dalam perjalanan pendidikan, kita seringkali terjebak dalam logika bahwa nilai tinggi adalah ukuran keberhasilan dan gelar adalah tanda akhir dari sebuah proses panjang bernama belajar. Narasi ini begitu kuat hingga masyarakat melihat pendidikan sebagai garis lurus dengan satu tujuan yaitu hasil.
Kita hidup di era yang mengagungkan percepatan. Bukan hanya teknologi yang mengalami percepatan, pendidikan digadang-gadang mengalami hal serupa. Sistem yang menuntut keseragaman capaian, akibatnya ruang bagi pencarian dan makna belajar perlahan mneyempit. Budaya percepatan ini, membuat proses belajar kerap kehilangan makna yang seharusnya, bahwa pendidikan bukan seberapa cepat seseorang menguasai sesuatu, tetapi pada bagaimana menemukan dirinya selama proses belajar.
Di sinilah pendidikan memiliki ruang lebih untuk menjadi sebuah tempat bertumbuh, tempat di mana kesalahan diterima sebagai bagian dari pembelajaran dan keberhasilan tidak hanya diukur dari hasil ujian, melainkan dari kematangan berpikir dan kebijaksanaan yang terbentuk.
Makna Perjalanan “Pulang”
Pendidikan sebagai proses emansipatif yang memiliki implikasi moral. Tanggung jawab negara bukan hanya menyediakan akses pendidikan, tetapi juga memastikan bahwa pendidikan tersebut mampu memperkuat kapasitas masyarakatnya untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi.
Adapun posisi guru bukan hanya pengantar ilmu, tapi memegang peran sebagai penjaga api kecil dalam diri siswa agar tidak padam. Motivasi yang tumbuh dari hati akan jauh lebih tahan lama dibanding paksaan nilai. Kadang kita lupa bahwa makna belajar seharusnya membuat kita lebih hidup, bukan sekadar sibuk. Pendidikan yang sejati membuat hati tumbuh, bukan hanya kepala penuh karena setiap proses belajar adalah perjalanan manusia mengenali batas dirinya.
Selain itu, tidak ada algoritma yang bisa menandingi kehangatan pendidikan dari proses seorang guru yang peduli. Pendidikan tetaplah tentang perjumpaan antara jiwa, makna, dan harapan. Akhirnya, pendidikan adalah perjalanan pulang untuk membantu mengenal diri sendiri, apa yang kita cintai, dan bagaimana kita bisa memberi makna bagi dunia yang lebih luas.






