Penulis: Deni Murdiani
Jakarta - MAARIF
Institute kembali menggelar diskusi terbatas dengan tema "Agama,
Kebudayaan, dan Moralitas Publik". Acara yang diselenggarakan di kantor
MAARIF, 11 September 2024 ini membincang isu agama, kebudayaan, dan moralitas publik
yang menjadi dasar tatanan kehidupan manusia.
Syamsul Arifin, Guru Besar Sosiologi Agama Universitas
Muhammadiyah Malang, menyampaikan pandangan mendalam terkait isu moralitas dan
kepemimpinan di Indonesia.
Syamsul menekankan, etika memiliki posisi yang lebih tinggi
daripada hukum, dengan memberikan contoh bagaimana BJ Habibie yang memutuskan
untuk tidak mencalonkan diri sebagai presiden pada saat itu meskipun secara
hukum dia dibolehkan.
"Indonesia sangat kaya dengan etika dan nilai-nilai
luhur. Sebagai bangsa, kita harus mempertahankan warisan ini dan mengingat
bahwa etika merupakan refleksi dari apa yang baik dan buruk," ungkap
Syamsul.
Narasumber lain, M. Izzul Muslimin, Sekretaris PP
Muhammadiyah, dalam paparannya mengajak masyarakat untuk tidak terjebak dalam
romantisme moralitas, di mana pemimpin dipilih berdasarkan karisma atau
popularitas semata tanpa mempertimbangkan integritas dan kemurnian moralnya.
"Kita membutuhkan pemimpin yang mampu mengambil
keputusan berdasarkan nilai-nilai yang kuat dan berjangka panjang, bukan
pemimpin yang hanya mengandalkan pencitraan," tambahnya.
Pernyataan ini mencerminkan keprihatinan mendalam Izzul
terhadap kondisi bangsa dan menunjukkan perlunya perbaikan signifikan dalam
moralitas publik, terutama di sektor kepemimpinan.
Sementara itu, Riri Khariroh, aktivis perempuan dan
eco-feminism, menyoroti ketidakadilan gender yang terus berlangsung di
masyarakat Indonesia. Menurut Riri, tiga sektor utama yang dibahas dalam
diskusi masih belum memberikan perhatian yang cukup terhadap isu kesetaraan
gender.
"Budaya patriarki masih sangat kuat di Indonesia,
terutama di wilayah-wilayah Indonesia Timur. Dalam konteks moralitas publik,
perempuan sering kali menjadi objek yang dikendalikan, alih-alih
dilindungi," ungkap Riri.
MAARIF House edisi keempat dihadiri oleh berbagai
narasumber, di antaranya; Ahmad Fuad Fanani (Peneliti, Kandidat Doktor ANU
Canberra), Budi Asyhari-Afwan (Peneliti Budaya CRCS UGM), Dewi Candraningrum
(Editor Buku Seri Ekofeminisme), Feby Indirani (Novelis, Inisiator Relax, It's
Just Religion), M. Izzul Muslimin (Sekretaris PP Muhammadiyah), Kusen
(Budayawan), Media Zainul Bahri (Guru Besar Pemikir Islam UIN Jakarta), Riri
Khariroh (Aktivis Perempuan dan Pendidik di PP Nihadlul Qulub), Syamsul Arifin
(Guru Besar Sosiologi Agama UMM Indonesia).
Melalui diskusi yang mendalam dan interaktif, MAARIF House
edisi keempat ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif
mengenai hubungan antara agama, kebudayaan, dan moralitas publik. Selain itu,
acara ini juga bertujuan untuk mendorong dialog yang konstruktif dan mencari
solusi bersama dalam menghadapi tantangan-tantangan yang muncul di tengah
masyarakat.
"MAARIF House merupakan sarana yang kami ciptakan untuk
mendorong diskusi terbuka dan konstruktif mengenai isu-isu publik yang penting
bagi masyarakat. Melalui edisi keempat ini, kami berharap dapat memberikan
wawasan baru dan mendorong pemikiran kritis mengenai hubungan antara agama,
kebudayaan, dan moralitas publik," ujar Direktur Eksekutif MAARIF
Institute, Andar Nubowo. []
Editor: Dinar Meidiana
Tulis Komentar