Ethos of Ramadan

$rows[judul] Keterangan Gambar : Dr. Hartono Rahimi, Staf SMA Muhammadiyah 25 Setiabudi Pamulang

Oleh: Dr. Hartono Rahimi, MA

Staf SMA Muhammadiyah 25 Setiabudi Pamulang


Ramadan adalah bulan mulia (syahrun karîm). Di dalamnya Allah menurunkan Al- Qur’an al-karim (bacaan mulia) yang menjadi petunjuk bagi semua manusia (al- Baqarah/2: 185), mewajibkan puasa yang menjadi penggugur dosa-dosa (HR. Bukhari), menyiapkan pahala yang berlipat ganda (HR. Muslim), dan menyediakan lailatul qadar bagi yang mau mencarinya. (al-Qadr/97: 3).


Semua itu Allah siapkan untuk mukmin kesayangannya, yaitu mukmin yang sadar bahwa hidup bukan sekadar menarik dan mengembus napas, tapi hidup adalah masa untuk mempersembahkan amal saleh terbaik (al-Mulk/67: 2) dan momentum untuk mempersiapkan bekal pulang ke kampung halamaan yang sesuangguhnya, yaitu surga (al-Baqarah/2: 35).


Hadirnya syariat puasa pada bulan Syakban tahun ke-2 Hijriyah (624 M) melalui turunnya Al-Baqarah ayat 183 menegaskan bahwa spirit puasa adalah etos kerja dan produktivitas kerja. Menurut ilmu sharaf, kata âmanû (beriman) yang merupakan panggilan sayang Allah untuk menyeru hamba pilihannya agar berpuasa adalah kata kerja (fi’il madhi), sementara tattaqûn (bertaqwa) yang menjadi tujuan utama berpuasa juga kata kerja (fi’il mudhâri’).


Adanya dua kata kerja pada ayat tersebut menegaskan bahwa Ramadan adalah masa panen raya bagi para penanam kebaikan, bulan untuk memperbanyak amalan bukan bulan untuk bermalasan. Abû Bakar al-Balkhi menyebutkan bahwa bulan Rajab adalah bulan menanam, bulan Syakban adalah bulan menyiram, dan bulan Ramadan adalah bulan memanen.


Dalam catatan sejarah, banyak prestasi besar yang dicapai Rasulullah SAW dan generasi setelahnya diraih pada bulan Ramadan. Kemenangan spektakuler dalam perang Badar (2 H./624 M.) terjadi pada Ramadan. Kemenangan epik tanpa pertumpahan darah pembebasan Kota Mekah (8 H./630 M.) juga pada Ramadan. Penaklukan Andalusia (Spanyol) di bawah komando Jendral Thariq bin Ziyad juga saat Ramadan. Kemenangan Shalahuddin Al-Ayubi pada perang Salib yang melelahkan dan menentukan (584 H./1188 M.) juga pada Ramadan.


Demikian pula kemenangan Sultan Saifuddin Quthuz melawan tentara Tartar Mongolia (658 H./ 1260 M.) juga diraih saat Ramadan. Kemerdekaan Indonesia juga diproklamasikan pada bulan Ramadan (1364 H./1945 M.). Fakta sejarah ini cukup sebagai bukti bahwa Ramadan adalah bulan berkarya dan bulan berprestasi.


Ramadan adalah universitas kehidupan, tempat orang beriman menempa diri supaya menjadi insan bertakawa, hamba termulia di hadapan pencipta (al-Hujurâ/49: 13). Mereka mulia karena kualitasnya terjaga, saat sendiri dan saat bersama tidaklah berbeda. Dia baik karena khalik, bukan karena makhluk. Baginya Allah is waching give him good show. Dia sibuk mencari muka di hadapan Rabnya bukan di hadapan manusia.


Dia yang tidak mau menista karena baginya menista karya sama dengan menista pencipta. Dia yang tidak tumbang kala dihina dan tidak terbang kala dipuja. Dia yang menganggap semua adalah saudara karena sedarah dengannya. Dia yang selalu menyemai cinta seperti yang dikatakan Jalaludin Rumi “Untuk hidup yang hanya sepanjang setengah tarikan napas, jangan tanam apa pun kecuali cinta”, dan dia yang ingin semua bahagia dan masuk surga.


Sebagai makhluk terbaik (al-Thîn/95: 4) manusia punya potensi untuk menjadi versi terbaik dirinya, ibarat supercar Bugatti Chiron yang bisa dipacu 420 km/jam. Begitupun manusia, syaratnya mereka mau menjaga etos keseimbangan. Bugaatti bisa dipacu karena mesinnya W-16 quad-turbo adalah versi terbaik di kelasnya. Keempat rodanya memakai ban Michelin Pilot Sport Cup, ban super yang dirancang untuk kecepatan tinggi.


Mesin canggih yang didukung empat ban terbaik dengan tekanan nitrogen seimbanglah yang menjadikan Bugatti mobil kelas wahid. Andai tekanan ban Bugatti tidak seimbang, maka performanya akan anjlok dan lajunya akan zigzag. Ibarat supercar yang punya empat roda, manusia juga punya empat roda pada dirinya. Roda-roda tersebut adalah berupa fisik, mental, spiritual dan sosial. Saat etos keempatnya seimbang, maka performa terbaik akan bisa tercapai.


1. Etos Fisik
Puasa mendidik orang beriman menjadi pribadi yang disiplin. Disiplin bicara, disiplin makan, disiplin berhubungan suami istri, disiplin waktu, dan lain-lain. Ketika waktu shubuh tiba, saatnya start puasa. Tidak boleh ditunda walau sebentar saja. Menunda imsak saat waktunya tiba akan menjadikan puasa hari itu sia-sia. Puasa juga mendidik agar kita mengatur pola makan. Pagi saat sahur dianjurkan makan dengan porsi terkendali, minimal minum air (HR. Ahmad). Sore saat berbuka disunnahkan mengkonsumsi buah, seperti Ruthab dan Tamar (HR. Tirmidzi).


Hal ini dapat membantu menurunkan kadar kolesterol jahat (LDL) dalam tubuh. Kolesterol dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, seperti penyakit jantung, stroke, dan penyakit ginjal. Selain itu puasa dapat membantu detoksifikasi (pengeluaran racun dari dalam tubuh). Dr. Yoshinori Ohsumi, ilmuawan asal jepang peraih nobel kedokteran 2016 mengungkapkan, puasa dapat mengaktifkan autophagy, yaitu proses tubuh memakan sel-sel rusak, sel kanker, dan sel penuaan. (liputan6.com).


2. Etos Mental
Puasa dapat melatih kontrol diri demi mencapai tujuan yang lebih besar berupa rida Allah. Orang yang tidak bisa menahan diri dari marah, mencela, dan bergunjing beresiko tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga. (HR. Ahmad). Puasa mengurangi stres dan kecemasan, karena puasa membantu menyeimbangkan hormon stres seperti kortisol, sehingga tubuh lebih rileks dan pikiran lebih tenang. Puasa juga memperkuat rasa empati, menjadi lebih mengerti bagaimana rasanya menjadi orang yang setiap harinya mengalami kekurangan makanan dan minuman.


3. Etos Spiritual
Puasa menjadikan kita merasa dekat dengan Allah sehingga hati menjadi tenang dan bahagia, merasa dilihat oleh-Nya sehingga terhindar dari perbuatan tercela, menyadari kesalahan sehingga tidak sombong, beribadah ikhlas karena-Nya sehingga tidak mudah putus asa, mengasah kesabaran sehingga hati menjadi damai, rajin berdo’a sehingga bisa hidup tanpa ketergantungan dengan orang lain. Janji mulia menanti para pengamal puasa, puasa karena iman (yakin) dan ihtisâban (ikhlas) akan mendapat pengampunan dosa. (HR. Bukhari). Doa orang berpuasa itu makbul. (HR. Ahmad), dan puasa kelak akan memberi syafaat kepada orang yang berpuasa. (HR. Ahmad).


4. Etos Sosial
Puasa Ramadan melatih kita untuk peduli terhadap sesama. Syariat zakat, infak, sedekah, berbagi makanan berbuka puasa, menyantuni anak yatim adalah bukti nyata Islam adalah agama yang memiliki etos sosial tinggi. Semangat bersama bantu sesama menjadi tambah spesial di bulan Ramadan. Nabi mewasiatkan bahwa sedekah terbaik adalah sedekah pada bulan Ramadan (HR. Tirmidzi), bahkan pahala amal sosial saat Ramadan bisa melebihi pahala amal individual. Berbagi makanan berbuka puasa misalnya, pelakunya akan diganjar pahala senilai dengan pahala orang yang dikasih (HR. An-Nasai). Spirit syariah ini diharapkan mampu menhadirkan gerakan sosial (social movement) bagi kemaslahatan bersama. Sebaliknya, bagi orang pelit yang tidak mau membayar zakat akan disiksa dengan siksaan mengerikan (At-Taubah: 34-35).

 

Ramadan sebagai ladang subur amal saleh, menjadi sarana untuk meningkatkan etos fisik, mental, spiritual, dan sosial.

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)