Tangerang Selatan - Rektor
Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Prof. Dr. Ma’mun Murod, M.Si., mendorong
pemerintah khususnya DPR RI agar segera membahas amandemen UU Penyiaran. Menurutnya, pembahasan itu penting karena dunia penyiaran semakin berkembang.
Hal itu disampaikan saat sambutan dalam acara pembukaan Kick Off Konferensi
Penyiaran Indonesia dan Seminar Nasional yang digelar Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) di Auditorium dr. Syafri Guricci Gedung Fakultas Kedokteran dan
Kesehatan (FKK) UMJ, Kamis (04/07/2024).
“Amandemen UU Penyiaran sampai saat ini masih belum ada tanda berakhir, penyelesaian, atau wujud UU yang baru. Padahal usianya sudah lebih dari 22 tahun,” kata Ma’mun.
Ia mengkritik DPR dan pemerintah karena terlihat pilih-pilih. Menurut Ma'mun belum adanya pembahasan amandemen UU Penyiaran penyebabnya kemungkinan karena UU Penyiaran tidak terkait langsung dengan kepentingan elit. Tidak seperti UU Omnibuslaw yang dapat diselesaikan dengan cara kebut sehari-semalam.
“Saya mohon
dengan sangat pada komisi 1 DPR RI untuk bisa membincangkan segera mungkin,
membahas UU Penyiaran supaya muncul UU Penyiaran baru yang lebih komprehensif,
menyangkut perkembangaan penyiaran di Indonesia,” kata Ma’mun.
Aturan penyiaran sangat penting terlebih berkaitan dengan pengukuhan ideologi bangsa Indonesia. Ma’mun mengaku risau dengan perkembangan penyiaran dengan kehadiran platform media baru. Banyak konten siaran yang tidak bisa dikontrol misalnya saja perihal LGBT.
Muhammadiyah yang posisinya tegas tidak membenarkan LGBT kesulitan menghadang pemahaman itu karena tidak ada regulasi yang mengatur konten di media baru sehingga para pelaku bebas memproduksi konten.
Belum lagi pemengaruh (influencer) atau pelaku penyiaran di media baru kerap memperoleh keuntungan besar dari konten atau program yang dibuat. Itu menurut Ma’mun perlu diatur oleh pemerintah. Ia menganalogikannya dengan zakat profesi yang wajib sebagaimana ditetapkan PP Muhammadiyah melalui Munas Tarjih Tahun 2000. Influencer dengan keuntungan besar yang didapat dari konten maupun program juga perlu diatur.
“Penting
adanya pembahasan terkait UU Penyiaran baru supaya komprehensif dan tetap
mengedepankan khas Indonesia yang berdasar pada Pancasila dan UU NRI 1945,”
tegas Ma’mun.
Ketua KPI Pusat Ubaidillah membenarkan pernyataan itu. Ia mengaku, KPI Pusat belum
menerima naskah RUU Penyiaran. “Kami tidak tahu RUU dari baleg (badan
legislatif) akan dibahas pemerintah di periode ini atau periode selanjutnya,”
kata Ubaidillah.
Ia menyebut
Konferensi Penyiaran ini adalah bagian dari keterbukaan ruang diskusi agar
mendapatkan masukan dan sebagai pengayaan dari masyarakat terhadap penyiaran.
“Penting melibatkan masyarakat, kami juga melibatkan media dan masyarakat
kampus,” ungkapnya.
Melalui
konferensi ini, Ubaidillah berharap KPI Pusat mendapatkan saran dan masukan
konstruktif dari masyarakat kampus untuk mengetahui pasal-pasal yang perlu
penyesuaian dengan perkembangan zaman dan teknologi, serta yang berkaitan
dengan penguatan kelembagaan.
Penguatan
kelembagaan merupakan salah satu hal penting menurut Ubaidillah karena kondisi
KPI terutama KPI Daerah tidak sehat. Hal itu disebabkan adanya UU tentang
Pemerintah Daerah yang menyatakan bahwa urusan penyiaran bukan bagian dari
urusan pemerintah daerah.
“Maka dari
itu kami baik KPI Pusat maupun Daerah, mendorong agar dilanjutkan terus
pembahasan RUU Penyiaran sehingga UU yang sudah berusia 22 tahun ini bisa
sesuai dengan perkembangan zaman,” tegas Ubaidillah.
Ia
menerangkan, Seminar Nasional bertajuk “Opportunnities and Challenges of
Indonesian Broadcasting Industry in The Digital Transformation Era” yang
merupakan bagian dari pembuka rangkaian Konferesni Penyiaran Indonesia, menjadi
tempat untuk masyarakat dan akademisi menyampaikan saran dan masukan.
Konferensi
Penyiaran Indonesia adalah gelaran rutin KPI Pusat yang bekerja sama dengan
perguruan tinggi. Tahun ini, Konferensi Penyiaran Indonesia akan dilaksanakan
pada Oktober 2024 mendatang. Kali ini KPI Pusat menggandeng UMJ dan Asosiasi
Pendidikan Ilmu Komunikasi Perguruan Tinggi Muhammadiyah Aisyiyah (APIK PTMA).
Penulis: Dinar Meidiana
Tulis Komentar